Minggu, 14 September 2008

"Menyontreng" Surat Suara Butuh Sosialisasi?

Oleh Heppy Ratna Sari

Jakarta (ANTARA News) - Berbeda dari pemilu sebelumnya, Pemilu 2009 memiliki sejumlah "keunikan".

Pertama, pemilu legislatif, yang biasa dilaksanakan pada 5 April, pada pemilu 2009 dilakukan menjadi 9 April.

Pertimbangan Komisi Pemilihan Umum memundurkan jadwal itu, karena pada 5 April bertepatan dengan hari Minggu, yang merupakan hari beribadah bagi umat Kristiani, juga perayaan Hari Raya China.

Apabila pemilu tetap dilaksanakan pada 5 April, dikhawatirkan akan mengurangi tingkat partisipasi pemilih.

Kedua, cara pemungutan suara pada pemilu 2009 juga mengalami perubahan. Saat memilih, masyarakat tidak lagi mencoblos kartu suara, tetapi dengan memberikan tanda. Komisi Pemilihan Umum dan DPR telah sepakat untuk menggunakan satu jenis tanda saja untuk menandai surat suara yakni dengan menyontreng (V).

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengatakan kesepakatan untuk hanya menggunakan contreng sebagai tanda yang sah ini adalah untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan suara, maupun petugas di lapangan untuk menghitung suara sah. 

"Untuk penandaan ini, kami sepakat satu-satunya dengan tanda contreng," katanya.

Menurut Hafiz, jika masyarakat diberikan alternatif untuk menggunakan tanda lain, maka akan menyulitkan petugas di lapangan. 

Sejak Pencanangan Gerakan Nasional (Gernas) Sosialisasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 pada Juni 2008, KPU telah meluncurkan logo pemilu yakni "Si Pena". Dalam pencanangan tersebut diperkenalkan "tanda baru" untuk pemungutan suara yakni contreng (V).

Hafiz mengatakan sebelum sepakat untuk hanya menggunakan tanda contreng, KPU telah membahas sejumlah tanda lain yang dapat digunakan masyarakat dan sah, seperti tanda bintang (*).

Tindakan antisipatif KPU ini bertujuan untuk mengakomodir penggunaan tanda lain oleh masyarakat yang tidak mengeliminasi suara mereka. 

Namun belakangan disepakati untuk hanya menggunakan tanda contreng saja. "Tanda" lain seperti mencoblos juga tidak lagi diperbolehkan.

Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat E.E. Mangindaan mengatakan hasil rapat konsultasi cenderung menetapkan contreng sebagai satu-satunya tanda untuk pemungutan suara.

"Jangan terlalu banyak tanda, nanti membingungkan masyarakat. Hasilnya mengerucut pada contreng," katanya sambil menegaskan bahwa mencoblos bukan bagian dari memberi tanda sehingga tidak dapat digunakan untuk pemungutan suara.

Selanjutnya, KPU akan mengatur tentang penandaan surat suara ini lebih rinci dalam peraturan tentang pemungutan suara. 


Masalah Sosialisasi

Apabila nantinya KPU resmi menetapkan tanda contreng sebagai satu-satunya tanda untuk pemungutan suara, maka pekerjaan selanjutnya yang harus dilakukan oleh komisi ini adalah sosialisasi.

Badan Pengawas Pemilu telah sejak awal mengingatkan betapa beratnya sosialisasi tentang penandaan surat suara ini. Tidak mudah untuk mengubah sesuatu yang telah dikenal masyarakat.

Bawaslu meminta kepada KPU untuk lebih gencar melaksanakan sosialisasi melalui berbagai macam cara. Mulai dari iklan di media massa, pamflet, spanduk, hingga penjelasan dari pintu ke pintu. Tujuannya adalah untuk membiasakan masyarakat dengan metode baru pemungutan suara.

Sosialisasi yang buruk berimplikasi pada jumlah suara sah. Berkaca pada pemilu sebelumnya, masih terdapat sejumlah kesalahan dalam mencoblos. Misalnya mencoblos tidak pada kolom yang ditentukan.

Menurut Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Jeirry Sumampow, terlepas dari kemungkinan adanya manipulasi suara, kesalahan dalam mencoblos masih terjadi.

Padahal, pemungutan suara dengan mencoblos telah dilakukan pada Pemilu 1999, tetapi kesalahan dalam mencoblos tetap terjadi pada Pemilu 2004.

"Sosialisasi itu tidak gampang, apalagi kalau materinya baru. Selama ini masyarakat tahu bahwa pemungutan suara itu dengan mencoblos," katanya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat pemahaman setiap orang berbeda-beda. KPU mungkin tidak mengalami kendala untuk memperkenalkan penggunaan tanda contreng pada masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi.

KPU akan mengalami kendala geografis maupun teknis untuk melakukan sosialisasi di daerah terpencil dan sosialisasi pada masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah.

Jeirry mengatakan KPU seharusnya membuat pemetaan sejak awal tentang daerah-daerah yang mengalami kendala dalam pemilu. Selanjutnya, dibuat strategi yang tepat.

"KPU tidak boleh menggampangkan. Kemungkinan jumlah suara tidak sah akan tinggi karena salah memberikan tanda," katanya.

Ia menyarankan agar KPU mulai bergerilya melakukan sosialisasi merata hingga ke pelosok Tanah Air dengan memanfaatkan seluruh infrastruktur yang dimiliki. KPU dapat memanfaatkan perangkat desa hingga RT/RW untuk sosialisasi.

Selain memasyarakatkan tanda contreng, KPU juga harus bekerja keras memberikan pemahaman pada masyarakat tentang peletakan tanda contreng yang sah.

Anggota KPU Andi Nurpati mengatakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 pasal 176, pemberian tanda dinyatakan sah apabila diberikan satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

KPU telah menyiapkan sejumlah desain surat suara. Hasil pembahasan desain surat suara antara KPU, Komisi II DPR dengan pemerintah pada Kamis (11/9) telah mengerucut pada satu desain surat suara.

Desain surat suara yakni memanjang kesamping dimana terdapat 38 kolom berisi dua yakni kolom nama partai dan kolom nomor serta nama caleg. 

Kolom nama partai dilengkapi dengan logo partai. Sedangkan, di setiap kolom caleg memuat nomor, nama caleg, dan dilengkapi nama partai. 

Andi mengatakan bentuk surat suara ini tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya.

Ia mengatakan KPU akan melaksanakan simulasi surat suara untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat dan tingkat kesalahan yang terjadi baik dalam hal menggunakan tanda dan pemberian tanda.

Hasil simulasi ini akan menjadi dasar bagi KPU untuk memutuskan desain suara akhir yang akan dipakai dalam pemilu 2009 sekaligus alat pemberi tanda yang digunakan.

Rencananya, simulasi akan dilaksanakan di Jawa Timur, Papua, dan Aceh. Sejumlah pihak menyarankan agar pelaksanaan simulasi diperluas untuk mendapatkan hasil yang komprehensif. 

Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar Ferry Mursyidan Baldan, mengatakan desain surat suara harus memudahkan pemilih untuk memilih nomor urut dan nama calon anggota legislatif.

KPU perlu mendorong masyarakat untuk memberikan pilihan pada kolom nomor urut atau nama caleg, bukan pada kolom gambar parpol. Surat suara harus didesain agar pemilih lebih mudah untuk memilih calon anggota DPR.

"Yang kita inginkan adalah adanya semangat untuk memilih calon. Kalau memilih gambar parpol maka sama saja dengan sistem proporsional tertutup," katanya. 

UU 10/2008 pasal 5 menyebutkan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilih (CETRO) Hadar Navis Gumay mengatakan KPU harus mengarahkan pemilih untuk memilih nomor dan nama caleg, bukan partai. Dengan demikian yang mendapat suara adalah caleg, bukan partai.

Ia mengatakan pemilu legislatif digelar untuk menentukan calon anggota legislatif pilihan rakyat.

"Jika sistem pemilu ini terbuka maka pemilih harus memilih caleg, bukan tanda gambar parpol. Maka desain surat suara harus mengarah pada pemberian tanda pada nama dan nomor urut calon," katanya.

Pelaksanaan pemilu kurang 207 hari lagi. Selama 200 hari lebih itu KPU harus melakukan banyak hal diantaranya melaksanakan tender pengadaan barang dan jasa, verifikasi calon anggota legislatif, dan sosialisasi.

Sosialisasi itu meliputi surat suara, tanda yang digunakan, letak penandaan yang sah, serta mendorong masyarakat untuk memilih langsung wakilnya dengan menandai nomor atau nama caleg yang dipilih.(*) Sumber Berita ANTARA

Tidak ada komentar: